Kemendag: Produk Halal Capai 53,73 Miliar Dolar AS

JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat total perdagangan produk halal Januari-Oktober 2024 sebesar 53,73 miliar dolar AS. Jumlah ini naik 0,58 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 53,42 miliar dolar AS.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Mardyana Listyowati mengatakan, pada periode 2019-2023, perdagangan produk halal mencatatkan tren yang positif yakni 10,99 persen per tahun.

“Pada periode Januari-Oktober 2024, nilai total perdagangan tercatat sebesar 53,73 miliar dolar AS, hal ini meningkat sebesar 0,58 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023,” ujar Mardyana pada pembukaan media briefing Ekspor Produk Halal Indonesia di kantor Kemendag, Jakarta, dikutip Sabtu (21/12/2024).

Dari sisi neraca perdagangan produk halal, pada periode 2019-2023 tercatat peningkatan tren sebesar 10,86 persen, dengan rekor tertinggi di 2022 yang mencapai 47,7 miliar dolar AS. Namun, nilai tersebut turun menjadi 53,42 miliar dolar AS, karena dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global.

Nilai ekspor produk halal pada periode Januari-Oktober 2024 tercatat sebesar 41,4 miliar dolar AS. Angka ini turun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 42,3 miliar dolar AS.

Lebih lanjut, Mardyana menyebut, terdapat lima negara yang menjadi tujuan prioritas ekspor produk halal pada periode Januari-Oktober 2024 yakni Amerika Serikat (7,29 miliar dolar AS), China (6,17 miliar dolar AS), Pakistan (2,05 miliar dolar AS) dan Malaysia (1,71 miliar dolar AS).

“Ekspor produk halal periode Januari-Oktober 2024 masih didominasi oleh makanan dan minuman halal sebesar 81,16 persen dari total ekspor produk halal, modest fashion menempati posisi berikutnya dengan 16,48 persen, farmasi 1,48 persen serta kosmetik sebesar 0,88 persen,” kata Mardyana.

Mardyana mengatakan, Kemendag akan melakukan sejumlah strategi untuk meningkatkan ekspor produk halal. Beberapa di antaranya adalah membantu promosi ke luar negeri melalui kerja sama dengan 44 perwakilan dagang Indonesia di 33 negara, serta membantu mengikutsertakan para pelaku usaha dalam pameran-pameran di luar negeri.

“Termasuk juga mempertemukan para pelaku usaha dalam business matching, serta membuat business matching dengan buyer-buyer dari luar negeri,” ucapnya.

================

Jakarta – Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria membeberkan sejumlah bahaya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

Berdasarkan perhitungan timnya, Arif menyebut, kenaikan tarif PPN akan berdampak pada perekonomian secara luas, salah satunya di sektor pertanian.

“PPN 12 persen ini akan berdampak kepada sektor pertanian. Secara ekonomi, dampaknya akan membuat GDP (PDB) riil turun 0,03 persen, ekspor akan menurun 0,5 persen, dan inflasi akan naik 1,3 persen,” ujarnya dalam CNN Indonesia Business Summit di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Jumat (20/12).

Arif kemudian menyoroti tarif PPN sejak 2000 yang sudah dipertahankan sebesar 10 persen. Namun kemudian naik pada 2022 menjadi 11 persen, dan kembali dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025. Ia menilai, hal ini bakal menggerus produktivitas pangan.

“Kenaikan 1 persen PPN ternyata dampaknya memang bisa pada penurunan produksi, seperti misalnya rumput laut, tebu, itu salah satu 10 besar. Kemudian kelapa sawit, teh, jambu mete, kopi, dan lain sebagainya,” jelas Arif.

Selain itu, kenaikan tarif PPN juga diyakini bakal meningkatkan harga bahan pokok, seperti daging unggas, beras hingga susu.

“PPN yang naik ini juga akan meningkatkan harga, harga unggas akan naik 0,3 persen. Kemudian harga susu segar yang akan menjadi komponen dalam makanan bergizi gratis juga akan naik. Padi juga akan naik harganya, meskipun tidak besar, 0,08 persen,” tuturnya.

Lebih lanjut, kenaikan PPN juga disebut akan berdampak pada penurunan tenaga kerja di sektor pertanian.

“PPN juga berdampak pada penurunan tenaga kerja, tenaga kerja rumput laut, karet, tebu, kelapa sawit, jambu, dan lain sebagainya,” ujar Arif.

Di sisi lain, Arif mengakui bahwa dalam jangka pendek kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara. Namun, ia menekankan pentingnya perhitungan matang terhadap efek berganda atau multiplier effect yang lebih masif dari kebijakan fiskal tersebut.

Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa bahan pokok premium yang awalnya dibebaskan, tapi kemudian dikenakan PPN seperti daging dan beras premium.

“Saya berharap pemerintah benar-benar menghitung betul dampak dari PPN ini terhadap inflasi, tenaga kerja, ekspor, serta kenaikan harga komoditas,” pungkasnya.

Pemerintah memastikan tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Mereka berdalih kenaikan dilakukan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *