Jakarta – Pemecatan Joko Widodo (Jokowi) dari PDIP menjadi peristiwa bersejarah dalam politik Indonesia yang terus disorot publik.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai pemecatan ini menjadi evaluasi moral dan etik sempurna yang dilakukan PDIP terhadap kader yang cacat secara etika politik.
“PDIP telah membuat filter berlapis, tetapi pada akhirnya Jokowi dinyatakan cacat konstitusi, cacat demokrasi, cacat moral, bahkan cacat psikologi,” tegas Rocky dikutip dalam akun Youtube pribadinya, Rabu, 18 Desember 2024.
Ia menyimpulkan pemecatan Jokowi adalah langkah tegas dan eksistensial dari PDIP.
Partai ini mungkin salah memilih Jokowi, tapi benar dalam mengambil keputusan untuk memecatnya.
“PDIP akan dicatat dalam sejarah sebagai partai yang salah dalam memilih orang tetapi benar dalam memecat presiden yang mereka pilih,” pungkasnya.
Sayangnya pengamat politik menilai lain. Salah satunya Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos menilai, kemenangan PDIP pada pemilihan umum (Pemilu) 2014 disebabkan kepopuleran Jokowi.
Hal itu, menurut lulusan S2 komunikasi politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu, terkonfirmasi pada Pilpres 2024, dimana pasangan calon PDIP tidak mampu memenangkan kompetisi.
Sebabnya, Subiran mengamati, endorsement Jokowi beralih ke pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang berbuah kemenangan.
“Sehingga pemecatan ini justru semakin menunjukkan kelemahan PDIP di satu sisi yang tidak berdaya menghadapi strategi dan perilaku politik dari Jokowi dan keluarganya,” kata Subiran kepada RMOL, Rabu 18 Desember 2024.
“Buktinya tanpa Jokowi PDIP kalah Pilpres, dan kalah telak dalam pilkada,” sambungnya.
Menurut Subiran, PDIP sulit meraih kemenangan di setiap kompetisi apabila tidak ada sosok yang mentereng untuk menggenjot suara.
“Seperti kemenangan PDIP di Pilgub Jakarta, bukan karena kuatnya PDIP atau Jokowi effect yang lemah, tetapi karena Anies effect,” kata Subiran.